Selasa, 01 Februari 2011

Bismillahirahmanirrahiim...


Mengapa Pernikahan Menjadi Tertunda?

Pernikahan memang sebaiknya disegerakan, tapi kalau melihat kondisi-kondisi kini tampaknya untuk menuju ke sana seorang anak muda harus melewati banyak rintangan. Ada dua rintangan besar yang menjadi faktor terhambatnya pernikahan.

Pertama: Kemiskinan

Pernikahan memerlukan fasilitas rumah, biaya resepsi, dan hal-hal yang diperlukan, juga modal untuk kehidupan selanjutnya. Sementara sebagian besar anak-anak muda di awal kehidupannya tidak memiliki persiapan-persiapan yang khusus dan orangtuanya juga belum tentu memiliki tabungan untuk membiayai pernikahan anaknya. Jadi cara yang mereka tempuh adalah menundanya sampai segala keperluan tersebut tersedia.

Kemiskinan memang menjadi biangkerok terhambatnya pernikahan. Sebagian orang-orang yang miskin memang mau tidak mau harus menunda-nunda perkawinan mereka. Penundaan ini memang dapat dimaklumi. Tetapi alasan-alasan untuk menunda-nunda perkawinan karena kemiskinan tidak selalu dapat diterima. Karena pernikahan adalah kebutuhan alamiah setiap orang. Kadang-kadang pernikahan itu tidak seberat yang dibayangkan seseorang. Keinginan yang muluk-muluk dari anak-anak muda yang akan menikah atau orangtua mereka yang membuat pernikahan itu seperti persoalan yang sangat berat sekali.
Tradisi-tradisi pernikahan yang sangat konsumtif yang mereka lestarikan juga menjadi pengganjal berat bagi sebuah pernikahan.

Sebagian anak muda ada yang masih berpikiran bahwa resepsi mewah adalah bagian dari tradisi pernikahan yang tidak bisa ditinggalkan. Menurut mereka pernikahan itu baru bisa dilakukan kalau mereka atau orangtua mereka sendiri memiliki kesanggupan dan kesiapan menggelar pesta seperti itu. Dan ketika mereka tidak memiliki persiapan-persiapan dari sisi material, maka mereka akan menunda pernikahan tersebut sampai mereka mampu menyediakan segala fasilitas tersebut.

Ini semua adalah anggapan yang keliru. Pernikahan adalah keperluan dasar yang tidak boleh ditunda-tunda hanya karena persoalan-persoalan material semata. Anak muda dan sang gadis yang akan menikah harus memperhitungkan kesanggupan mereka dan jangan memimpikan hal-hal yang di luar kesanggupan mereka. Kalau mereka belum mempunyai rumah sendiri mereka bisa menyewa rumah orang lain, kalau tidak ada rumah yang bisa disewa, mereka juga bisa menyewa beberapa kamar dan kalau mereka tidak mempunyai biaya, mereka dapat menumpang tinggal di rumah orangtua atau mertua mereka selama beberapa waktu. Mereka bisa melakukan penyederhanaan sehemat mungkin supaya bisa melangsungkan pernikahan.

Kalau anak-anak muda bisa memahami kondisinya dengan benar, maka mereka juga tidak akan mengharapkan hal yang muluk-muluk. Mereka akan merasa bahagia dengan pernikahan yang sangat sederhana sambil terus memperbaiki kualitas hidupnya.

Kedua: Pendidikan

Cita-cita untuk meneruskan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi juga bisa menjadi hambatan bagi pernikahan. Banyak anak-anak muda yang bercita-cita ingin meneruskan taraf pendidikannya ke tingkat diploma atau S1 atau kalau bisa di atas itu. Kadang-kadang cita-cita untuk meneruskan karir dalam bidang pendidikan bentrok dengan keinginan untuk menikah cepat-cepat. Hidup berumah tangga menuntut waktu dan biaya sehingga seorang pelajar yang masih ingin melanjutkan kuliahnya sulit memenuhi konsekuensi hidup berumah tangga. Demikian juga keadaan seorang anak perempuan yang masih berada di bangku kuliah, apakah bisa membagi waktu di sekolah dengan di rumahnya? Apalagi kalau sudah mempunyai seorang anak?

Itu juga menjadi bahan pemikiran orangtua mereka. Mereka tentu belum siap kalau harus menarik anak-anaknya yang masih kuliah untuk dinikahkan secepatnya. Maka usia pernikahan pun semakin merayap ke atas dan mereka lebih mementingkan pendidikan dibandingkan pernikahan.

Orang-orang Barat memiliki solusi lain yaitu dengan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya sebebas-bebasnya. Dan solusi itu mengantarkan anak-anak muda pada kerusakan moral.

Islam menolak kebebasan seperti ini. Karena itu bisa merusak moral, hukum dan mengganggu kepentingan pribadi dan sosial.

Jadi krisis yang dihadapi anak-anak muda dalam masyarakat Islam tetap tak terpecahkan. Karena dari satu sisi ketika anak-anak itu ingin melanjutkan kuliah artinya mereka harus menunda perkawinan sementara dari sisi lain kebutuhan biologis adalah hal-hal yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Jadi apa yang harus dilakukan oleh anak-anak muda kalau tidak ada lagi jalan yang halal untuk melampiaskan desakan biologis mereka? Ataukah ia harus dibiarkan saja melakukan hal-hal yang tidak senonoh?

Mereka yang berpikiran positif memberikan saran agar anak-anak muda itu disuruh menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan olah raga, rekreasi, menyibukkan diri di perpustakaan, nonton film, atau acara-acara yang positif, menonton acara-acara TV dan radio yang berkualitas, bergabung dengan klub-klub anak muda. Anak-anak itu disarankan untuk mencurahkan seluruh energinya dalam aktivitas-aktivitas seperti itu sehingga dorongan-dorongan itu tidak lagi muncul.

Kita juga mengakui efektifitas program-program seperti itu. Para donatur yang memiliki perhatian sangat besar terhadap anak-anak harus berpikir serius dalam menyediakan fasilitas-fasilitas seperti itu. Sehingga konsentrasi anak-anak muda tidak selalu terpaku pada urusan-urusan seksual saja. Tetapi program-program seperti itu tidak selamanya dapat menampung seluruh energi anak-anak muda. Urusan kebutuhan biologis tetap saja memerlukan metode tersendiri. Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?

Menurut hemat saya tidak ada lagi jalan yang terbaik bagi masalah mereka selain perkawinan. Mereka harus menikah dalam usia semuda itu. Saya malah berpendapat bahwa pernikahan dengan sekolah itu bisa disatukan, tentu saja dalam kasus ini orangtua laki-laki dan orangtua perempuan harus memiliki pengertian. Begitu juga dengan tempat kuliahnya. Jadi orangtua si perempuan dalam hal ini harus memiliki pengertian. Janganlah selalu mengharapkan bahwa suaminya itu harus seseorang yang memiliki penghasilan tetap dan sudah memiliki rumah. Tapi bisa saja ia berpikir untuk mengijinkan anaknya (walaupun sudah bersuami) selama beberapa tahun tinggal di rumahnya untuk bisa meneruskan kuliahnya dan dia akan membantu kehidupannya sampai mereka bisa mandiri. Sebaliknya pihak keluarga laki-laki harus mulai memikirkan untuk membantu kehidupan keluarga anaknya sampai mereka bisa menyelesaikan kuliahnya.

Sementara itu ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian anak-anak mereka, yaitu:

Karena mereka telah matang mereka sekarang benar-benar membutuhkan pasangan hidup untuk menjalani kehidupan ini

Cara yang terbaik untuk mengatasi gejolak-gejolak yang sekarang mereka rasakan adalah pernikahan

Namun karena mereka juga ingin menyelesaikan kuliahnya, sementara mereka belum memiliki penghasilan tetap maka mereka jelas sangat memerlukan bantuan finansial dari orangtua mereka

Meskipun mereka mengharapkan bantuan dari orangtua, tapi mereka juga jangan sepenuhnya bergantung

Jadi janganlah terlalu muluk-muluk memiliki tempat tinggal yang nyaman atau upacara pernikahan mereka dirayakan dalam pesta yang besar. Mereka juga harus memiliki gaya hidup yang sederhana, apakah dalam cara berpakaian atau memilih makanan. Kalau mereka bisa menyederhanakan gaya hidup mereka maka mungkin mereka bisa menjalani hidup dengan penuh rasa syukur. Dengan demikian anak-anak muda bisa melanjutkan kuliah namun juga tidak menunda-nunda perkawinan kalau seluruh keluarga ikut bekerja sama dan membantunya. Jadi pasangan muda akan memiliki dua kehidupan: kehidupan rumah tangga dan kehidupan sebagai pelajar. Setelah selesai studi mungkin mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk membiayai seluruh hidup mereka secara mandiri.

Alhamdulillahi Rabbil Alamiin,,,

1 komentar: